~Segala puji bagi Allah dan selawat dan salam atas nabi junjungan,Muhammad,Rasulullah S.A.W serta atas para keluarga dan para sahabat Baginda~
Kali ni ana nak kongsi artikel ni..harap sahabat-sahabat rajinkan diri untuk baca..panjang ni,harap boleh faham,,yang penting dapat apa yang ingin disampaikan..8')
Oleh: Al’Habib Faridhal Attros Al’Kindhy
Tokoh Spiritual Islam Bogor
"Hai orang - orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang - orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa "
(QS. : 2 : 183).
Bulan suci Ramadhan senantiasa berhubungan dengan kehadiran Tuhan, dan intelegensi kosmik, yang juga bersinar di dalam diri manusia yang melakukan puasa (Riyadlah) di bulan itu, dan merupakan sarana pula untuk menyadari keberadaan yang Maha Esa. Datangnya wahyu secara tiba-tiba seperti kilat, yang berisikan perintah untuk mengerjakan puasa di bulan suci Ramadhan, dapat disamakan dengan jatuhnya batu di sebuah kolam air yang menimbulkan riak-riak untuk bergerak keluar seperti lingkaran konsentris dari pusat. Al-Qur’an dengan struktur puitisnya, yang berdasarkan irama yang tegas dan pola nada yang sangat halus. Mengundang reaksi dalam jiwa masyarakat Islam, dan menjadikan puasa di bulan suci Ramadhan, sebagai puasa yang sangat penting dalam Agama Islam, karena ia (puasa) merupakan induk dari berbagai puasa Islam lainnya.
Puasa di bulan suci Ramadhan ini merfleksikan gema kitab Suci dalam pikiran setiap orang muslim yang mengerjakannya. Pada gilirannya gema tersebut akan membuat kenangan dalam pikiran dan jiwa orang - orang yang melakukannya dengan hati yang ikhlas karena Allah Ta’ala semata. Karena keikhlasan inilah yang akan mengembalikan mereka pada keadaan dengan kegembiraan dan keindahan surgawi. Disinilah pengaruh kimiawi atas jiwa seseorang dalam menjalankan puasanya dan akan pula mempengaruhi jiwanya, terhadap adanya kebenaran.
Berdasarkan seluruh kehidupan yang mencerminkan kebudayaan Islam tradisional, semua bentuk-bentuk ibadah didalamnya akan saling berhubungan melalui prinsip-prinsip tradisional, yang meresapkan nilai kesucian, seperti halnya prinsip-prinsip spiritual yang mendominasi seluruh aspek kehidupan manusia tradisional dalam semua bentuknya. Selain memudahkan pelaksanaan ibadah puasa, Islam juga mengungkapkan watak teomorfis manusia yang lebih baik daripada menyembunyikannya.
Seseorang yang menikmati puasa di bulan suci ramadhan ini, atau yang mampu menjalankannya dengan baik dan benar, maka secara potensial ia akan tetap hidup di surga yang ia ciptakan melalui keanggunan batin Al-Qur’an - Al-Kariim. Sedangkan bagi mereka yang tidak memahami, dan tidak mampu menjalaninya, walau sebenarnya mereka mampu jika saja niat hatinya bersungguh-sungguh dan keras membaja. Maka mereka seperti telah jatuh keluar dari surga itu, karena mereka mengalami kejatuhan spiritual yang menjadi alasan utama desakan mereka untuk tidak menjalaninya, walau sebenarnya mereka memiliki kemampuan untuk itu.
Hal ini menunjukan kegagalan mereka dalam mencapai tujuan yang suci lagi mulia. Suatu kegagalan dalam mencapai tujuan di luar tradisi spiritual universal mereka terhadap keadaan obyektiv dunia, sebuah interpretasi yang sama sekali tidak eksis dalam subyektivisme individual, dan kolektif yang mengalihkan kejatuhan jiwa menjadi keadaan yang dibutuhkan oleh eksistensi manusia dalam dunia kontemporer.
Masyarakat Islam mampu melaksanakan dan mempertahankan budayanya yang bersifat spiritual sekaligus sensual, menyingkap selubung yang menutupi keindahan dunia ini beserta sifat fananya, dan menjelma dalam bentuk tatanan ibadah yang suci dan mensucikan pada alam transenden yang indah melalui teofani Tuhan ; salah satu dari ibadah ini adalah puasa di bulan suci Ramadhan yang merupakan warisan para Nabi dan Rasul yang tetap di anggap sebagai realitas yang masih hidup dan tetap menyala laksana kutub - kutub spiritual dan norma - norma teladan.
Dan tetap menjadi perhatian para pencari kebenaran dalam masyarakat Islam, dan jiwa para pelakunya menjalankan ibadah puasa itu sendiri, dan menjadi nilai universal bagi seluruh dunia Islam pada saat kebodohan mengancam untuk mencekik berbagai bentuk ibadah serta spiritualnya. Oleh karena itu kewajiban masyarakat Islam adalah mengetahui dan memahami hakikat dari pada ibadah puasa ini, yang hanya bukan sekadar dapat menahan lapar dan haus saja, akan tetapi pahami pula prinsip-prinsip yang mendasarinya agar mendapatkan manfaat dan peningkatan yang membuatnya menjadi mungkin untuk mengenali lebih dekat dan menembus lebih dalam ke substansi ilahi dan kemudian memberitahukannya kepada yang lain. Mengenai mereka yang tidak memahami makna dari ibadah puasa di bulan suci ramadhan ini, serta ketidaktahuan mereka atas prinsip-prinsip yang menyelimutinya. Maka merupakan tugas suci lagi mulai untuk tidak menyembunyikan ketidaktahuan mereka dengan sebuah kebanggan untuk menghancurkan segala sesuatu yang tidak diketahuinya. " Kejujuran yang kini dibicarakan setiap orang, menuntut supaya seseorang yang tidak merusak karena kebutaannya terhadap realitas tradisi Islam, ataupun karena kreasi artistik yang telah kehilangan dirinya sendiri ".
Sebutir debu serta kesekejapan hidup diubah melalui tradisi menjadi sebuah bintang di cakrawala, yang diberkahi dengan kemapanan dan merefleksikan keabadian Tuhan. Kekuatan kreatif dan ketabahan seseorang yang melakukan ibadah puasa, jauh dari adanya pencekikan. Ia akan terbebas dari belenggu dan keterbatasan subyektif dirinya sendiri, dan ia pun akan memperoleh suatu universalitas dan kekuatan yang luar biasa.
Orang seperti inilah yang tidak akan pernah menghilangkan makna spiritual dari budaya Islam yang umumnya disebabkan oleh kekeliruan interpretasi mengenai lingkungan tertentu yang membatasi Islam hanya pada aspek luarnya saja dan mengabaikan jurang yang memisahkan keindahan dan kemudharatan. Seorang muslim sejati akan dengan rendah hati menyadari keagungan tradisi yang dapat memberi arah dan orientasi kepadanya melalui penyerahan diri, pemusatan dan peleburan batin sepenuhnya.
Maka dalam penyerahan diri dan bakatnya kepada tradisi ini, ibadah yang dihasilkannya akan menjadi suci dan bersih dari taqlid buta. Melalui ibadah puasa di bulan suci Ramadhan ini akan terbentuklah kembali keselarasan fundamental yang memungkinkan manusia untuk kembali pada keberadaan dan kesadarannya yang lebih tinggi. Sedangkan doktrin tentang keselarasan dalam makrokosmos akan terwujud pada taraf realitas yang lebih tinggi dan menjadi suram serta semakin samar dalam tingkat kosmos yang semakin rendah. Walaupun keselarasan itu sendiri merupakan bagian dari surgawi, bagian dari kosmik dan hirarki universal serta sekaligus menjadi sumber pencerahan.
Bebagai definisi dalam kebudayaan Islam bahwa puasa di bulan suci Ramadhan berkaitan erat dengan hukum yang mengatur gerak pemikiran manusia dalam perjalanannya menuju sumber spiritualitas sejati dengan beragam landasan epistemologis untuk mencapai kepastian yang logis dan mungkin saja terdapat perbedaan hasil dalam hal perjalanan yang dilaluinya itu melalui kemurnian dari tatanan suatu ibadah menurut kapasitasnya masing-masing. Sementara hubungan antara puasa dan spiritual justru dapat ditemukan dari hubungan metafisik yang mengikat keduanya. Spiritual dan ibadah puasa tak pelak lagi selalu dikaitkan dengan logos dan menurut sudut pandang tradisional merupakan proses yang diikuti oleh pikiran dalam pencariannya (thallab) akan kebenaran. Proses ini dimungkinkan oleh kekuatan logis pikiran yang merupakan perluasan dari prinsip intelektual, yang tiada lain adalah refleksi dari intelek Tuhan atau logos dalam bentuk pikiran. Prinsip yang sama ini merupakan sebab ontologis realitas kosmik, oleh karenanya ada hubungan (persesuaian) antara proses mental manusia dalam menjalani puasa dengan realitas eksternal, dan adanya kemungkinan bagi kecakapan logis pikiran untuk mencari kebenaran yang sesuai dengan realitas eksternal. Prinsip ini pulalah yang memberi makna pada substansi ibadah puasa di bulan suci Ramadhan ini. Oleh karena itu, menurut doktrin tradisional, puasa dan spiritual mempunyai sumber yang sama, yaitu intelek, dan saling melengkapi, jauh dari adanya pertentangan.
Ibadah puasa akan menjadi pertentangan dengan spiritual hanya apabila resfek terhadap logika yang telah diubah menjadi rasionalisme, dan ibadah puasa yang sesungguhnya merupakan sarana untuk mengekspresikan pengetahuan yang benar-benar intelektual yang direduksi menjadi transformasi dalam jiwa manusia dengan ditemukannya kembali hubungan primordial manusia dengan prinsip spiritual dan intelektual segala sesuatu. Sedangkan spiritualisme direduksi menjadi sentimentalisme atau sekadar alat untuk mengekspresikan keanehan individual dan bentuk subyektivisme. Tetapi dalam konteks tradisional yang menganggap ibadah puasa sebagai tangga untuk mendaki peringkat trasenden, serta spiritual yang secara eksplisit bersifat didaktis atau sebaliknya. Dalam hal ini tidak dapat dipungliri lagi bahwa peranan logika akan sangat membantu karena ia berfungsi sebagai penyampaian pesan-pesan intelektual dan spiritual, maka logika pun menjadi bagian dari ibadah puasa, begitu pun sama pula halnya dengan spiritual. Logika akan saling melengkapi antara ibadah puasa dan spiritual yang merujuk kepada realitas yang mendasari keduanya.
to be contiued InsyaAllah..
~edited by Ibnu Bakri,,
wallahu a'lam